Nelayan Dusun Air Panas Negeri Tulehu kecamatan salahutu kabupaten Maluku Tengah, awalnya tidak terorganisir dengan baik dalam kelompok-kelompok nelayan. Mereka masih melakukan aktifitasnya secara perorangan. Selain pemahaman terkait pengelolaan perikanan secara berkelanjutan masih minim khususnya tata kelola perikanan, seperti pendataan hasil dan jenis tangkapan maupun aktifitas penangkapan ikan masih dilakukan seadanya sehingga dari sisi ekonomi melalui penjualan hasil tangkapan tuna menyesuaikan fluktuasi harga ikan di pasaran.
Namun seiring berjalannya waktu dan dengan pendampingan oleh staf lapangan AP2HI serta melalui anggota asosiasi yakni PT. Aneka Sumber Tata Bahari yang membeli harga ikan tuna berstandar Marine Stewardship Council (MSC) akhirnya secara perlahan nelayan tuna Dusun Air Panas mendapatkan sertifikasi dan memproleh nilai tambah dari sisi penjualan produk berlabel MSC.
Hal ini yang dirasakan oleh La Irfan (44) Ketua kelompok Nelayan Tuna Abadi Dusun Air Panas yang telah berprofesi sebagai nelayan sejak tahun 2008 atau 16 tahun lalu. Aktifitas rutin yang selalu dilakukan setiap harinya yakni pada dini hari sekitar pukul 03.00 WIT bangun pagi untuk menyiapkan peralatan dan perbekalan memancing.
Sebelum menuju daerah tangkapan biasanya La Irfan dan nelayan lainnya memancing cumi sebagai umpan di sekitar perairan Desa Oma, yang perjalanannya membutuhkan kurang lebih 1 jam perjalanan.
Setelah itu, sambil menunggu fajar menyingsing kemudian perahu 1 GT itupun bergerak menuju daerah penangkapan ikan pada wilayah perairan Laut Banda (WPP 714) dan membutuhkan waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit atau sekitar 30 mil laut. Akan lebih jauh lagi apabila harus mengejar gerombolan lumba-lumba, karena biasanya ikan tuna mengikuti gerombolan tersebut.
Saat ini mungkin musim paceklik karena cuaca juga kurang bersahabat, Jika lagi musim tangkap, biasanya La Irfan mendapatkan hasil tangkapan tuna sebanyak 3-4 ekor per hari dengan berat bersih setelah dilakukan loin tunanya menjadi 10 kg, apabila harga ikan bersertifikat MSC pada hari itu Rp 85 ribu maka untuk total harga penjualan yang didapatkan dari 4 ekor ikan adalah Rp 3,4 juta.
Untuk biaya operasional BBM jenis pertalite yang diperlukan sekitar 30 liter dengan harga Rp 10 ribu/liter di SPBU atau sama dengan Rp 300 ribu tergantung jaraknya ke daerah tangkapan. Ditambah lagi kebutuhan oli,es dan perbekalan sehingga kebutuhan melaut sehari kisaran Rp 300 – 600 Ribu.
“Alhamdulilah dengan mendapatkan sertifikat MSC, Harga pasaran ikan tuna kami lebih tinggi dari yang non MSC dan biasanya ada selisih sekitar Rp 10 ribu. Sehingga dari sisi ekonomi sangat membantu keluarga kami para nelayan khususnya yang berada pada dusun Air Panas Tulehu. Saya dapat mensekolahkan anak ke jenjang lebih tinggi hingga bangku perkuliahan. Selain itu pula Dusun kami saat ini telah ditetapkan menjadi Kampung Nelayan Maju dan mendapatkan bantuan infrastruktur dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Ini menjadi berkah bagi kami semua, dimana 90 persen dari 130 Kepala Keluarga (KK) yang ada, profesinya adalah nelayan” Kata Irfan.
Kedepan kami berharap terus mendapat dukungan dari pemerintah dengan memperhatikan nelayan Dusun Air Panas misalnya melalui bantuan BBM subsidi, es dan diberikan alat bantu bantu penangkapan ikan (rumpon) serta dibuat kebijakan zonasi untuk armada tangkap lainnya seperti purse seine dan long line agar melakukan penangkapan sesuai daerah penangkapan ikannya agar tidak mengganggu aktifitas kami nelayan kecil. Saat ini nelayan bersertifikat MSC di Dusun Air Panas berjumlah 33 orang dan sementara berproses 28 orang. Tutup Irfan
Keberhasilan La Irfan mendapatkan sertifikasi MSC tak lepas dari peran AP2HI. Ini pun melalui perjuangan yang panjang yakni Setelah berjuang selama 7 tahun melalui program perbaikan perikanan bersama dengan mitranya The International Pole and Line Foundation (IPNLF), akhirnya AP2HI berhasil meraih sertifikat MSC. pada januari 2021 . Ungkap Herman selaku Fisheries Manager AP2HI
Pada awal implementasi aktivitas di lapangan yang berhadapan langsung dengan nelayan, middle man dan lainnya sangat sulit dan butuh waktu yang cukup lama dalam upaya memberikan pemahaman terkait pengelolaan perikanan keberlanjutan dalam bingkai sertifikasi eko-label seperti MSC. Meskipun demikian, dengan terus melakukan pendekatan intens dan pendampingan kepada nelayan akhirnya program sertifikasi tersebut dapat diterima oleh nelayan seperti yang kita lihat di Dusun Air Panas. Nelayannya sangat antusias untuk bergabung dalam kelompok yang bersertifikat tuna. Kata Herman
Herman menambahkan permintaan produk MSC semakin tinggi dan konsisten. Informasi dari beberapa pelaku industri bahwa permintaan produk tuna MSC sangat stabil jika dibandingkan dengan non-MSC yang tingkat dinamika pasarnya sangat fluktuatif. Terjadinya kondisi ini adalah tentunya berasal dari peran konsumen yang acuan saat belanja makanan lautnya, terutama produk tuna. Mereka harapkan produk tersebut terjamin sepanjang rantai pasoknya terdapat aktivitas perbaikan perikanan menuju keberlanjutan dan berkomitmen menjaga sumberdaya laut yang ditandai dengan adanya label sertifikasi (eko-label). Sebut Alumni Universitas Haluoleo Kendari ini
Data AP2HI per Oktober 2023, jumlah kapal yang terdaftar sebagai Unit of Certification (UoC) adalah 1,379 kapal. Sedangkan Data produksi kapal MSC yang dilaporkan ke AP2HI dari tahun 2021 hingga 2023 yaitu untuk spesies cakalang 7,430 Ton dan Tuna sirip kuning 9,843 Ton. Dimana, sekitar 10 persen dari jumlah produksi tersebut di-klaim sebagai ikan yang bersertifikat MSC dan presentase ini terus meningkat setiap tahunnya.
Kolaborasi Pelaku Usaha Perikanan
Kuntoro Kusno Direktur PT. Aneka Sumber Tata Bahari menyampaikan saat ini dominan permintaan pasar global untuk produk perikanan adalah yang bersertifikat salah satunya dengan sertifikat MSC seperti permintaan pembeli kami di Amerika Serikat, Vietnam, Thailand.
Karena permintaan yang tinggi maka kami harus menyiapkan nelayan kearah sertifikasi tersebut, sebab selain ketelusuran hasil tangkapan, kualitas dan harga ikannya lebih terjamin dan stabil juga memberikan dampak positif bagi nelayan serta kami selaku pelaku usaha perikanan. Ungkap Kuntoro yang biasa disapa Kun ini.
Nelayan binaan kami ada sekitar 1,500an orang yang tersebar di 2 lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yakni 714 Laut Banda dan 715 Laut seram dan Laut Maluku. Hampir 60 persen nelayan tersebut aktifitas penangkapan ikannya di WPP 715. Hanya saja untuk lautnya belum disertifikasi MSC (Laut Maluku).
“Kiranya dalam waktu dekat ini dapat tersertifikasi dengan bantuan dari AP2HI dan MSC sehingga para nelayan disana dapat menikmati harga premium yang sama dengan nelayan lainnya. Sebut Kun
Kun menambahkan bahwa Produk perikanan yang bersertifikat MSC ini sangat membantu pelaku usaha perikanan dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan dibandingkan yang non-MSC. Dengan menyesuaikan permintaan pasar global apalagi alat tangkap yang digunakan juga adalah alat tangkap yang ramah lingkungan dan berkelanjutan yakni Pole and Line dan handline. Seharusnya ini menjadi role model dalam aktifitas perikanan tangkap kita ditengah kondisi perubahan iklim dunia yang turut mempengaruhi hasil tangkapan nelayan
Kemitraan MSC dalam Program Perikanan Berkelanjutan
Berdasarkan data AP2HI bahwa jumlah kapal yang telah tersertifikasi MSC untuk area Provinsi Maluku pada WPP 714 adalah 362 kapal dan akan terus bertambah. Salah satu sentra perikanan yang nelayannya telah tersertifikasi MSC ada pada Dusun Air Panas yang kini dijadikan Kampung Nelayan Maju (Kalaju) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Kata Usmawati Anggita Sakti Commercial Communication officer MSC.
Kami (MSC) berharap selain program perikanan berkelanjutan dan pengembangan pasar terhadap produk hasil tangkapan nelayan, tetapi secara sosial dan ekonomi desa yang menjadi sentra nelayan bersertifikat MSC semakin dikenal secara nasional dan global melalui produk berlabel biru yang dihasilkan Ungkap Anggi
Penangkapan ikan yang berkelanjutan berarti menangkap dengan menjaga stok ikan yang cukup di laut dan melindungi habitat serta spesies yang terancam. Dengan menjaga laut, masyarakat yang bergantung pada penangkapan ikan dapat mempertahankan mata pencaharian mereka. Tutup Anggi
Untuk kita ketahui bersama bahwa lebih dari 500 sektor perikanan di lebih 34 negara telah tersertifikasi MSC. Seluruh sektor tersebut memproduksi 16 juta metrik ton produk makanan laut tiap tahunnya, atau sekitar 19 persen dari penangkapan ikan global. Lebih dari 30 ribu produk makanan laut dunia menggunakan label MSC.
Kebijakan Daerah mendukung program MSC
Rusdi Makatita Kepala Bidang perikanan tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada MSC melalui sertifikasi hasil tangkapan nelayan yang dilakukan serta kemitraan lintas stakeholder telah membantu dalam pembinaan Nelayan tuna di Provinsi Maluku dan memberikan dampak positif.
Menilik sertifikasi MSC pada perikanan skala kecil telah berkomitmen besar yang hadir dan menghubungkan para nelayan, pelaku usaha maupun konsumen dalam tata kelola perikanan berkelanjutan. Sertikasi MSC melalui pendampingan AP2HI untuk pemanfaatan produk ikan tuna bersertifikat seperti halnya yang dilakukan di dusun Air Panas Tulehu turut membantu meningkatkan ekonomi nelayan. Selain Perikanan tuna, harapannya kedepan akan meluas ke perikanan lainnya seperti kakap kerapu serta membuka ruang untuk komoditi lainnya dapat tersetifikasi MSC. Harap Rusdi
Berdasarkan memorandum saling pengertian antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Marine Stewardship Council serta dokumen turunan Rencana Kegiatan Tahunan antara Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dan MSC yang telah dilakukan sejak tahun 2019 untuk melakukan pembinaan bagi nelayan dan menghubungkan antara nelayan, pelaku usaha dan konsumen. MSC mempunyai mempunyai akses pasar yang lebih besar dan berdampak positif bagi semua nelayan yang ada di Provinsi Maluku.
Penulis: M. Fikri Setiawan
Copyright © ANTARA 2024
[Artikel ini hasil dari media trip MSC yang disadur dari AntaraNews terbit pada 2 Februari 2024]
2 Februari 2024